Pendidikan Pertanian Dinilai Tak Lagi Bangkitkan Pertanian
Riani Dwi Lestari
Sabtu, 22 Oktober 2011 16:04 wib
69Email0
foto: ist
YOGYAKARTA – Pendidikan pertanian dinilai sudah tidak lagi membangunkan kebangkitan pertanian sebagai penyedia tanaman pangan di masa depan. Bahkan pendidikan formal tidak berorientasi pada perkembangan pertanian.
Hal tersebut diungkapkan oleh Guru besar Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM Susetiawan. Menurutnya, petani sudah tidak lagi memiliki kedaulatan dan kemandirian dalam penyediaan pangan, bahkan mereka mengalami kemiskinan secara sistematis dari dampak kebijakan pembangunan sektor pertanian.
Situasi tersebut disebabkan oleh peningkatan biaya produksi pertanian yang tidak bisa diimbangi dengan hasil pendapatan yang mereka peroleh.
"Kini benih, pupuk, dan pengolahan tanah justru menambah besarnya biaya produksi. Padahal dari hari ke hari harganya semakin meningkat," kata Susetiawan seperti yang dilansir laman UGM, Sabtu (22/10/2011).
Dia menuturkan, kini para petani sudah tidak mengajarkan bertani bagi generasi berikutnya, sebab bertani bagi mereka tidak lagi mendapatkan imbalan sepadan dengan kenaikan harga barang kebutuhan lain yang harus dibeli dengan uang.
"Pemuda pedesaan kini memandang kehidupan pertanian tanpa prospek masa depan yang cerah," bebernya.
Karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, menurut Susetiawan, beberapa petani rela menjual tanahnya untuk memasukkan anak cucunya menjadi tentara, polisi atau pegawai negeri dengan cara bayar.
"Petani yang tanahnya sempit sekira 0,25 hektar biasanya menanam padi bukan untuk dijual, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pangan," jelas Susetiawan.
Sementara di pihak pemerintah, menurutnya, kegagalan pembangunan pertanian bukan semata-mata kegagalan satu kementerian saja tetapi beberapa kementerian terkait yang tak pernah melakukan kerja koordinatif.
"Kegagalan pembangunan pertanian secara otomatis mendorong kegagalan pendidikan pertanian baik dilakukan secara formal maupun kemasyrakatan akibat perilaku sosial para pemuda desa terasingkan dari dunia kehidupan mereka sehari-hari," Susetiawan mengimbuhkan.